POINT OF VIEW
Saya teringat suatu cerita dimasa bangku sekolah dengan memakai seragam biru putih. DImana masa itu adalah masa-masa saya mencari jati diri dan berargumentasi mengenani kebenaran akan cara pandang saya terhadapa orang lain. Banyak sekali yang berpkiran bahwa cara pandang kita salah demikian pula kita mereasa bahwa cara pandang orang lain itu salah. Waktu itu yang menceritakan adalah seorang guru agama, saya lupa namanya, beliau menceritakan tentang seorang ayah, anak dan keledai yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat tertentu. Pada awalnya, seorang anak yang kelelahan itu menaiki keledai untuk meneruskan perjalanan dan seorang ayah dari anak tersebut tetap berjalan. Ketika mencapai suatu daerah pemukian atau suatu desa, penduduk desa tersebut berbisik diantara mereka. Dan ada salah satu penduduk yang berani mengutarakan ketidakadilan atau ketidak sopan-santunnya seorang anak kepada orang tuanya (ayahnya yang berjalan disamping keledai tersebut). Salah satu penduduk tersebut bilang kepada anak tersebut bahwa anak yang tidak tahu sopan santun yang membiarkan ayahnya yang sudah tua tersebut berjalan disamping kedelainya sedangkan anaknya enak-enak duduk diatas keledai. Akhirnya, terbesitlah dan tergeraklah hati anak dan ayah tersebut untuk bertukar tempat. Ayahnya yang menaiki keledai tersebut dan anaknya berjalan disamping keledai. Merekapun melanjutkan perjalanan dan telah melewati desa tersebut. Didalan perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan yang akan menuju suatu desa yang lain yang tidak jauh dari tempat mereka bertemu tersebut. Mereka bersama menuju desa berikutnya dan ketika sampai di desa yang kedua, terjadilah hal yang sama seperti didesa pertama. Penduduk pun berbisik dan menganggap si ayah tersebut tidak perhatian kepada anaknya yang sudah berkeringat dan kecapaian dan mereka merasa bahwa si ayah itu adalah seorang ayah yang tidak perhatian kepada anak dimana ayahnya enak-enakan duduk diatas keledai sedangan anaknya harus jalan disamping keledai.
Mereka pun berpikir lagi dan akhirnya mereka berdua menaiki keledai tersbut. Singkat cerita mereka sampai di desa ketiga, Kejadian di desa kedua terulang lagi dan penduduk desa tersebut menganggap bahwa anak dan ayah yang tidak tahu ber”peri-kehewanan” karena keledai yang sekecil itu dinaiki oleh dua orang. Akhirnya mereka pun turun dari keledai tersebut dan mereka berdua berjalan disamping keledai. Sampailah merek di desa keempat dan kejadina di desa sebelumnya terjadi lagi. Mereka berkata bahwa anak dan ayah adalah kedua orang yang tidak tahu ilmu dimana mereka punya keledai tapi tidak digunakan semaksimal mungkin untuk mengantarkan mereka ke tujuan dengan cara menaiki keledai tersebut.
Dari cerita tersebut, manakah yang benar? Apakah anaknya yang naik keledai atau ayahnya saja atau keduany atau bahkan tidak kedua-duanya? Saya merasa semuanya benar sesuai dengan pandangannya masing-masing. Tapi apakah ada yang lebih benar dibanding dengan yang lain? Saya jawab tidak ada yang benar-benar BENAR. Kenapa seperti itu? Karena itulah cara pandang orang lain terhadap kita. Disaat menurut kita sudah benar tapi kenyataannya mereka pun salah. Dan manusia diciptakan dari sebuah kesalahan. Lalu manakah yang benar? Yang bener adalah yang mengikuti kata hatinya setelah mereka berdoa dan berusaha. Berdoa berartiadalah mendekatkan sedekat-dekatnya kita kepada yang maha pencipta. Jadi teruslah berdoa mudah-mudahn kita diberikan kemudahan untuk melangkah dan memberikan kebaikan bagi kita dan sekitarnya. Amien
Wednesday, October 13, 2010
Tuesday, October 12, 2010
Wisata Jogjakarta di saat Lebaran
JOGJAKARTA
Disaat liburan lebaran yang rencananya tidak pulang kampung dan memutuskan untuk menunggu ibukota Negara saja, akhirnya harus diabaikan. Godaan yang dating dari adik kandung saya untuk ikut pulang kampung dengan memakai mobil yang berisi 6 orang akhirnya terjadi juga. Kampung halaman yang sudah hampir 10 tahun saya tinggalkan untuk bersekolah dan mencari pendapatan demi kesejahteraan keluarga dan warga di kampung. Kampung Ngayogyakarta hadiningrat inilah merupakan tempat lahir dan besar saya. BErsenda gura dengan tema sebaya dikala itu, bermain dan “sedikit” bandel bahkan mengacaukan kampung halaman dengan bermain “mercon” alias petasan. Akhirnya saya bisa pulang kampung juga. Sebenarnya ini pulang kampung yang kedua setelah tahun 2008 balik ke Jogja bersama keluarga. Yang lebih menyedihkan tapi harus saya ambil hikmahnya adalah, saya pulang ke Jogja ini hanya sendirian diteman saudara-saudara dari suami adik saya. Istri yang pergi untuk menuntut ilmu di negeri paman sam dan anak-anak saya yang ikut mertua di kampung halaman yang lain (baca: wonogiri). Banyak sekali hikmah yang saya dapatkan dari situasi dan kondisi seperti ini dan Insya Alloh juga anak-anak saya.Amien
Selama lebaran di Jogja, banyak sekali hasil jepretan yang saya dapatkan dan dapat bonus bertemu dengan orang perancis yang hoby juga fotografi. Yang paling berkesan lebaran dikampung adalah adanya acara “grebegan” di Masjid Gede kauman yang merupakan tanda hormat dari Kraton Ngayogyakarta kepada pengurus Masjid GEde Kauman. Sebenarnya dari dulu antara kekuasaan dengan tokoh agama selalu hidup berdampingan dan bahkan saling mengisi. Penguasa adalah sebagai tokoh pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas keamanan sedangkan tokoh agama (dalam hal ini adalah masjid Gede) sebagai tokoh yang menghubungkan masyarakat dengan penguasa dan penciptanya.
Disaat liburan lebaran yang rencananya tidak pulang kampung dan memutuskan untuk menunggu ibukota Negara saja, akhirnya harus diabaikan. Godaan yang dating dari adik kandung saya untuk ikut pulang kampung dengan memakai mobil yang berisi 6 orang akhirnya terjadi juga. Kampung halaman yang sudah hampir 10 tahun saya tinggalkan untuk bersekolah dan mencari pendapatan demi kesejahteraan keluarga dan warga di kampung. Kampung Ngayogyakarta hadiningrat inilah merupakan tempat lahir dan besar saya. BErsenda gura dengan tema sebaya dikala itu, bermain dan “sedikit” bandel bahkan mengacaukan kampung halaman dengan bermain “mercon” alias petasan. Akhirnya saya bisa pulang kampung juga. Sebenarnya ini pulang kampung yang kedua setelah tahun 2008 balik ke Jogja bersama keluarga. Yang lebih menyedihkan tapi harus saya ambil hikmahnya adalah, saya pulang ke Jogja ini hanya sendirian diteman saudara-saudara dari suami adik saya. Istri yang pergi untuk menuntut ilmu di negeri paman sam dan anak-anak saya yang ikut mertua di kampung halaman yang lain (baca: wonogiri). Banyak sekali hikmah yang saya dapatkan dari situasi dan kondisi seperti ini dan Insya Alloh juga anak-anak saya.Amien
Selama lebaran di Jogja, banyak sekali hasil jepretan yang saya dapatkan dan dapat bonus bertemu dengan orang perancis yang hoby juga fotografi. Yang paling berkesan lebaran dikampung adalah adanya acara “grebegan” di Masjid Gede kauman yang merupakan tanda hormat dari Kraton Ngayogyakarta kepada pengurus Masjid GEde Kauman. Sebenarnya dari dulu antara kekuasaan dengan tokoh agama selalu hidup berdampingan dan bahkan saling mengisi. Penguasa adalah sebagai tokoh pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas keamanan sedangkan tokoh agama (dalam hal ini adalah masjid Gede) sebagai tokoh yang menghubungkan masyarakat dengan penguasa dan penciptanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)